Mengenal Sistem Pemilu Proporsional Tertutup, Lengkap dengan Kelebihan dan Kekurangannya
Berikut pengertian sistem Pemilihan Umum (Pemilu) proporsional tertutup lengkap dengan kelebihan dan kekurangannya. Diketahui, pada Pemilu 2024 terdapat wacana perubahan sistem yaitu menjadi sistem proporsional tertutup. Isu perubahan sistem tersebut berawal dari uji materi terhadap Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK), dikutip dari Kompas.com.
Perubahan sistem pada Pemilu 2024 tersebut menjadi perdebatan bagi sejumlah kalangan. Sebelumnya sistem proporsional tertutup pernah digunakan di Indonesia ketika Pemilu Orde Lama dan Orde Baru. Lalu apa itu sistem Pemilu Proporsional Tertutup?
Diketahui, terdapat 3 sistem dalam Pemilu di dunia. Satu di antaranya adalah sistem Proporsional. Sistem Proporsional adalah sistem ketika persentase kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang dibagikan kepada tiap tiap partai politik disesuaikan dengan jumlah suara yang diperoleh tiap tiap partai politik, dikutip dari .
Sistem proporsional terbagi menjadi dua yaitu sistem Proporsional Terbuka dan Tertutup. Sistem Proporsional Tertutup adalah pemilih mencoblos/mencontreng nama partai politik tertentu dan kemudian partai yang menentukan nama – nama yang duduk menjadi anggota dewan. Sehingga dalam sistem ini, pemilih hanya dapat memilih partai politiknya saja.
Sementara sistem Proporsional Terbuka adalah pemilih mencoblos/mencontreng partai politik ataupun calon bersangkutan. Oleh karena itu, pemilih dapat langsung memilih calon legislative yang dikehendaki untuk dapat duduk menjadi anggota dewan. Kelebihan Sistem Pemilu Proprosional Tertutup
Memudahkan pemenuhan kuota perempuan atau kelompok etnis minoritas karena partai politik yang menentukan calon legislatifnya. Mampu meminimalisir praktik politik uang. Meningkatkan peran parpol dalam kaderisasi sistem perwakilan dan mendorong institusionalisasi parpol.
Pemilih tidak punya peran dalam menentukan siapa kandidat caleg yang dicalonkan dari partai politik. Tidak responsif terhadap perubahan yang cukup pesat. Menjauhkan hubungan antara pemilih dan wakil rakyat pascapemilu.
Potensi menguatnya oligarki di internal parpol. Munculnya potensi ruang politik uang di internal parpol dalam hal jual beli nomor urut.